Minggu, 10 Juni 2012


SINOPSIS DAN APRESIASI CERPEN
“SEPOTONG SENJA UNTUK PACARKU”
KARYA: SENO GUMIRA AJIDARMA

Nama               : Qori’ah Mustaqim
Kelas/NIM      : PB 2011/112074032

A.  SINOPSIS
Cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma ini bercerita tentang usaha seorang pria yang ingin sekali mengirimkan sepotong senja untuk pacarnya, Alina. Ia memilih senja itu karena baginya, kata-kata tidaklah cukup berarti untuk mewakili perasaannya dan senja itulah yang diimpikan oleh kekasihnya itu selama ini. Lalu di suatu pantai yang indah dengan pemandangan syahdu membuatnya ingin mengambil senja itu. Namun, usahanya mengambil senja ternyazta tak semulus yang ia kira, bahkan polisi dan masyarakat pada ribut karena kehilangan senja. Di tengah pelariannya, ia bertemu dengan gelandangan di bawah gorong-gorong. Gelandangan itu menyuruhnya bersembunyi agar aman dari kejaran polisi. Tiba-tiba ia menemukan sebuah tempat yang mirip dengan tempat dimana ia mengambil senja tadi. Namun disana tampak sangat sepi, tak ada manusia, hewan, apalagi keramaian. Iapun memutuskan untuk mengambil senja yang ada disana dan menyimpan di saku yang satunya lalu kembali meninggalkan gorong-gorong dan naik ke bumi. Diluar dugaan ternyata keadaan diatas sudah tak sekacau tadi, bahkan mobilnya tampak habis dicuci. Ia juga sempat melahap pizza dan segera melajukan mobilnya. Ia memasangkan senja yang dari gorong-gorong itu dan ternyata cocok. Sedangkan senja yang ia dapat dari tempat pertama ia kirimkan lewat pos. Ia jadi ingat, gorong-gorong itu pasti akan menjadi gelap karena ia telah mengambil senja itu untuk pacarnya dan semua orang akan memperbincangkan itu kelak. Terakhir iapun berpesan agar kekasihnya itu menjaga baik-baik senja yang ia berikan.

B.  APRESIASI CERPEN DENGAN PENDEKATAN STRUKTURAL DAN TEORI SEMIOTIK
Saya sudah membaca berulang kali cerpen ini dari semester 1, namun disaat saya sudah menemukan pemaknaan yang saya rasa sesuai, di lain sisi banyak aspek yang seakan-akan merobohkan dinding pemahaman saya sebelumnya, dan begitu pula seterusnya, hingga saya memutuskan untuk mengapresiasi cerpen ini dengan pendekatan strukturalisme. Strukturalisme mencoba mengapresiasi sebuah teks sastra dengan memahami hubungan dari setiap unsur yang ada, karena sulit rasanya untuk menemukan isi dari cerpen ini tanpa melalui pendekatan struktural. Pendekatan struktural ini bertalian erat dengan teori semiotik. Karena di semester ini saya belum mendapatkan mata kuliah teori sastra, jadi saya hanya berusaha mengungkapkan sesuai pemahaman yang saya dapat dari hasil membaca dan bertanya.
Menurut Saussure, sistem tanda memiliki dua unsur yang tidak dapat dipisahkan yaitu penanda dan petanda. Penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut. Disini saya memaknai senja itu sebagai cincin pengikat dalam suatu hubungan antara tokoh “Aku” dan kekasihnya, Alina. Di paragraf ke-dua disebutkan penanda berupa “pantai” dimana secara denotasi, pantai ialah batas antara darat dan laut, seperti hubungan mereka yang berada dalam batas antara berpacaran dengan menikah. Jadi, senja yang ada di pantai ibarat cincin pengikat dalam sebuah hubungan atau bisa dibilang cincin yang akan dijadikan cincin pernikahan. Potongan kalimat “cahayanya merah keemas-emasan” dan “cahaya senja yang keemasan itu berbinar dalam saku” memperkuat argumen saya jika senja yang dibidik adalah cincin pernikahan yang mewah dan mahal. Lalu tokoh “Aku” menceritakan bagaimana prosesnya mendapatkan cincin itu, ialah dengan mencuri cincin di sebuah tempat. “lautan adalah cairan logam” adalah penanda kumpulan dari perhiasan atau cincin khususnya, dan “semesta adalah sapuan warna keemasan” yaitu kemilau yang dihasilkan oleh kumpulan perhiasan atau cincin tersebut. Kemudian “Aku” mengambil cincin itu dan menempatkannya pada “empat sisi” yang dimaksud yaitu kotak cincin berwarna ungu lalu memasukkannya ke dalam saku. Kemudian orang-orang ribut karena cincin telah hilang dan cakrawala berlubang sebesar kartu pos dalam arti ada celah di kumpulan perhiasan itu. Hal tersebut menunjukkan betapa berharganya cincin itu sehingga si “Aku” berpikir bagaimana seandainya cincin dibuat yang tiruan dan dijual murah, pasti orang-orang tak akan gaduh karena kehilangannya. Namun makna senja sebagai “cincin” bergeser menuju makna sebenarnya, yaitu senja sebagai suatu keindahan alam dimana orang-orang kota tak pernah pedulikan karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Ini diperkuat dengan kalimat “senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam”.
Namun di tengah aksi kejar-kejarannya dengan polisi, si “Aku” ini meninggal dunia. Setelah ia turun ke tempat di ujung gorong-gorong, ia mengikuti cahaya. Tempat yang ia lihat mirip dengan tempat dimana ia mengambil senja, dan itu adalah dunia imajinasinya, bukan lagi dunia fakta yang sebelumnya ia lewati. Buktinya adalah disana tak ada manusia, hewan, apalagi keramaian. Terlebih “Aku” mengatakan, “senja yang bergetar melawan takdir” yang artinya cincin itu ikut hanyut dalam situasi tokoh “Aku” yang melawan ajal. Setelah itu ia membayangkan membawa senja dari tempat sunyi itu dan meletakkannya di saku yang satunya. Setelah ia naik kembali ke atas gorong-gorong, semua keributan yang tadi terjadi seolah-olah lenyap seketika, ia pun seperti terlahir kembali di dunia baru namun dengan visualisasi tempat yang sama. Ini berarti ia memang sudah menjadi roh dan tidak ada satupun yang melihatnya. Kalaupun bisa, pasti polisi sudah menunggu di luar dan memblokir seluruh jalan. “dua senja di saku kiri dan kanan” menyiratkan makna dua cincin mempelai laki-laki dan perempuan. Lalu pada kalimat, “kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang asli ini untukmu, lewat pos.” Maksudnya adalah bahwa ia dapat memakai cincin yang ia dapat dari tempat berbeda dan mengirimkan cincin yang didapat dari tempat pertama pada Alina. Namun sayang itu adalah dari alam imajinasinya saja, sedangkan cincin yang diperuntukkan bagi Alina hanya dapat ia tinggalkan karena ia sudah meninggal. Bukti kalau ia sudah meninggal ada pada penggalan kutipan kalimat terakhir: “dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia”. namun ada kemungkinan dari awal cerita ia memang sudah tiada, seperti potongan kalimat di paragraf kedua yang berbunyi: “ ....selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.”
Begitulah kiranya jika cerpen ini dianalisis menggunakan teori semiotik yang memiliki hubungan saling melengkapi dengan pendekatan strukturalis, karena kebulatan makna teks sastra dapat didapat dengan cara kerja semiotik. Ciri-ciri strukturalisme menurut buku Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi karangan Moh. Najid yaitu yang pertama, strukturalisme fokus pada struktur otonom karya sastra. Yang kedua yaitu bahwa strukturalisme membuka struktur diluar realitas yang kita tangkap sehari-hari. Hal ini terbukti dengan penggunaan tanda-tanda yang membentuk struktur otonom dan menciptakan dunia sendiri, lepas dari dunia nyata.

Sumber acuan :
1.      Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo Offset
2.      Najid, Moh. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar